Ir Ali Ashat memberikan paparan dalam webinar “Cost Recovery in Geothermal”. (*)
PABUMNews – Harga energi baru terbarukan (EBT), termasuk panas bumi, hingga sekarang masih mahal ketimbang harga energi fosil. Ini menjadi salah satu penyebab kenapa energi fosil masih menjadi primadona dan EBT kurang berkembang.
Dalam energi listrik misalnya, batu bara masih sangat dominan, yakni menyumbang 63,92 persen dari kapasitas nasional. Sedangkan EBT hanya menyumbang 14,95 persen saja.
Untuk mendorong percepatan penggunaan EBT, khususnya panas bumi, kini sedang dibahas Perpres EBT. Salah satu point menarik dalam Perpres tersebut bahwa pemanfaatan panas bumi akan menggunakan skema cost recovery sebagaimana dalam pemanfaatan minyak dan gas (migas).
Pertanyaannya, cocokkah skema cost recovery migas digunakan dalam pengusahaan panas bumi?
Menurut Advisor Board of ITB Geothermal Master’s Program, Ir. M. Ali Ashat, skema cost recovery dalam industri migas belum tentu sesuai dengan iklim bisnis panas bumi (geothermal).
“Cost recovery dalam migas belum tentu cocok untuk industri panas bumi,” ujar Ali dalam Webinar “Cost Recovery dalam Panas Bumi” yang digelar Program Magister Panas Bumi Institut Teknologi Bandung (ITB), Jumat (7/8/2020).
Ali menjelaskan lima ciri cost recovery dalam migas, yaitu:
Pertama, semua hasil produksi milik negara, bukan milik kontraktor.
Kedua, jika cost recovery dianggap legitimate maka baru akan dibayarkan oleh negara kepada kontraktor dari hasil produksi.
Ketiga, hasil untuk negara lebih besar (sekitar 85 persen), sehingga biaya dari negara pun lebih besar.
Keempat, meskipun biaya negara lebih besar namun negara tak melakukan operasional sendiri kegiatan usaha. Oleh sebab itu harus ada lembaga yang ditugasi untuk melakukan pengawasan pengeluaran biaya.
Kelima, pengeluaran biaya harus mendapatkan persetujuan dalam bentuk POD, WPNB.
Ali yang juga Konsultan Independen BUMN panas Bumi PT Geo Dipa Energi, mengatakan, skema yang mirip cost recovery migas saat ini dalam panas bumi adalah Kontrak Bagi Hasil (KBH).
“Skema ini sempat diterapkan sebelum UU Geothermal 2003 dalam Joint Operation Contract (JOC),” ujarnya.
Dipaparkannya, dengan menggunakan mekanisme JOC, industri geothermal di Indonesia mengalami booming pada tahun 1990-an. Bahkan sebagian besar kapasitas terpasang panas bumi sekarang, masih didominasi oleh skema JOC, di antaranya Salak, Darajat, Wayang Windu dan Sarulla.
“Sayang sekali banyak kontrak tak terealisasikan karena krisis, kendati demikian bisa dianggap berhasil,” jelasnya.
Pertanyaannya, bisakah JOC tahun 1990-an diterapkan dalam industri panas bumi sekarang?
Ali mengatakan, ada sejumlah kekurangan dari mekanisme JOC. Di antaranya, karena asset milik negara maka tidak bisa menggunakan skema pendanaan project financing.
“Pendanaan terpaksa menggunakan corporate financing, sehingga cost of moneynya mahal karena dianggap full equity,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Ali, hanya perusahaan besar yang bisa mendapatkan kegiatan ini, sementara yang kecil-kecil tidak.
“Kemudian pajaknya juga besar, sekitar 34 persen,” ujarnya.
Kelemahan lainnya jika JOC tahun 1990-an diterapkan sekarang, menurut Ali, harga jual listrik justru akan lebih mahal. Dengan menghadirkan berbagai variable, Ali mengatakan, dengan JOC maka harga listrik panas bumi sekarang akan mencapai Rp 12 sent/Kwh.
Ali pun menjelaskan, jika cost recovery diterapkan, ada persoalan lain yakni jika harga tidak ekonomis maka pengembang datang ke PLN untuk mengajukan adjustment harga.
“Ini dilematis, karena PLN tak mengontrol cost recovery migas, namun kemudian PLN harus mengontrol harga apakah legitimate atau tidak,” paparnya.
Untuk mengatasi kerumitan tersebut, Ali menyebut, sekarang ada mekanisme alternatif yaitu open book mechanisme, di mana PLN terlibat sebelum pengembang melakukan kegiatan.
“Dengan mekanisme ini, maka PLN akan tahu persis kegiatan pengembang,” ujarnya.
Alternatif lain, lanjutnya, adalah Feed in Tariff dengan adjustment tertentu.
“Mengapa adjustment tertentu? Feed in Tariff secara normal di EBT lain mungkin bisa diterapkan, namun di geothermal banyak variable yang harus dipertimbangkan. Di antaranya resiko eksplorasi yang tak ditemukan dalam EBT lain, sumber dayanya dan sebagainya,” katanya.
Di akhir paparannya, Ali menegaskan, hambatan geothermal tak hanya pada persoalan harga, tapi banyak soal. Yaitu resiko sumber daya, investasi tinggi di awal, harga listrik panas bumi yang tinggi, kandungan lokal yang kecil, tumpang tindih dengan kehutanan dan masalah sosial.
“Jadi, harga bukan satu-satunya penghambat pengembangan panas bumi,” paparnya. (Has)
Paparan lengkap Ali Ashat: