PABUMNews- Bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia pada tahun 2025 ditargetkan 23 persen, di mana sektor panasbumi ditargetkan menyumbang 7000 MW. Dengan kapasitas panasbumi sekarang ini yang baru sebesar 1.948,5 MW, maka dalam 6 enam tahun waktu yang tersisa, sektor panasbumi harus menghasilkan 5.051,5 MW, atau hampir 1000 MW per tahun.
Yunus Daud, pakar panasbumi dari Universitas Indonesia (UI), dalam paparannya yang dimuat kompas.com Jumat (5 April 2019) dengan judul “Geotermal Indonesia, dari Potensi, Pemanfaatan sampai Rencana ke Depan” menyatakan bahwa target ini merupakan proyek ambisius. Akan tetapi dalam berbagai kesempatan ia pun menyatakan, geotermal merupakan sumber energi ramah lingkungan terbesar yang dimiliki Indonesia, sehingga keberadaannya harus dimanfaatkan.
Ia menyatakan, pemanfaatan panasbumi dibutuhkan investasi yang besar, penyiapan teknologi eksplorasi dan produksi, manajemen, penyediaan sumberdaya manusia yang kompeten dengan jumlah yang cukup, serta dukungan iklim investasi yang menarik bagi investor.
Butuh dana ratusan triliun untuk mengejar target
Seperti dikatakan Yunus Daud, pengusahaan panasbumi dibutuhkan investasi yang besar. Abadi Poernomo, mantan Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) dan mantan Direktur Pertamina Geothermal Energi (PGE), saat diwawancara katada.co.id pada Juli 2017 lalu mengungkapkan, untuk memproduksi 1 MW dari panasbumi memerlukan US$ 4-5 juta. Investasi ini dua kali lipat investasi listrik dari batubara yang “hanya” memerlukan maksimal US$ 2 juta untuk kapasitas yang sama.
Jadi berapa dana yang dibutuhkan Indonesia untuk mengejar target 7000 MW hingga tahun 2025? Tinggal mengalikan antara sisa kapasitas yang harus dikejar dengan biaya produksi 1 MW. Jika diambil murahnya, yakni 1 MW dibutuhkan US$ 4 juta, maka US$ 4 juta kali 5.051,5. Totalnya US$ 22 miliar lebih. Jika dikonversikan kepada rupiah dengan nilai US$ 1 sama dengan Rp 15.000, maka kebutuhan anggaran untuk pengembangan panasbumi hingga tahun 2025 adalah Rp 330 triliun lebih…!!! Biaya ini tentu di luar pembangunan infrastruktur jaringan dan pengembangan kapasitas SDM.
Pertumbuhan kapasitas sektor panasbumi
Di luar kebutuhan anggaran tadi, sesungguhnya target 7000 MW hingga tahun 2025 memang sangat ambisius mengingat pertumbuhan kapasitas panasbumi Indonesia selama ini di bawah 200 MW per tahun.
Tahun 2014, kapasitas terpasang pembangkit panasbumi Indonesia sebesar 1.403,5 MW, kemudian tahun 2015 naik menjadi 1.438,5 MW, atau ada kenaikan 35 MW. Tahun 2016 naik lagi menjadi 1.643,5 MW (ada kenaikan 205 MW). Tahun 2017 menjadi 1.808,5 MW (ada kenaikan 185 MW). Kemudian tahun 2018 total kapasitas panasbumi mencapai 1.948,5 (naik 140 MW). Melihat data itu, hanya pada tahun 2016-lah, kenaikan kapasitas panasbumi Indonesia melebihi 200 MW, sementara di tahun-tahun lainnya di bawah 200 MW.
Namun target boleh disebut juga cita-cita. Sangat adil rasanya jika perbincangan kita tentang upaya Indonesia dalam memanfaatkan panasbumi, tak hanya melihat angka dalam target, tapi juga seberapa besar kerja keras dilakukan untuk mencapai target tersebut.
Thinkgeoenergy, portal terdepan tentang geothermal (panasbumi), dalam beritanya pada Februari 2019 lalu menyuguhkan data tentang pertumbuhan kapasitas panasbumi secara global. Dalam berita itu disebutkan, tahun 2018 Indonesia berhasil menaikkan kapasitas panasbumi sebesar 139 MW (versi thinkgeoenergy bukan 140 MW) dari tahun sebelumnya. Yang agak mengejutkan, dengan kapasitas sebesar itu Indonesia ternyata merupakan negara penyumbang terbesar kedua terhadap kapasitas panasbumi secara global. Sementara penyumbang kapasitas terbesar pertama tahun 2018 ditempati Turki dengan kenaikan 294 MW. Berapa Amerika Serikat yang memiliki kapasitas panasbumi paling besar di dunia? Ternyata hanya menyumbang 48 MW saja di tahun 2018.
Maka dengan data itu menunjukkan bahwa Indonesia memang serius dalam pengembangan panasbumi. (es)