Home / Berita

Senin, 7 Mei 2018 - 07:41 WIB

Panasbumi Indonesia di Mata Pengusaha Prancis

PABUMNewsLe Petit Journal, media terbitan Prancis, menerbitkan hasil wawancara dengan Direktur Engie Indonesia, Christophe Comte tentang panasbumi Indonesia. Seperti diketahui, Engie merupakan perusahaan yang menjalin kerjasama dengan Supreme Energy dalam proyek PLTP Muara Laboh, Rantau Dedap dan Rajabasa.

Dalam tulisan itu, Le Petit juga memaparkan bahwa target bauran energi listrik 23% pada tahun 2025 yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, merupakan tantangan besar bagi Indonesia sendiri. Dengan 140 gunung berapi aktif, tulis Le Petit, negara ini memiliki 40% sumber daya energi geothermal dunia. Namun sayang saat ini hanya 5% listrik yang diproduksi di negara kepulauan ini berasal dari energi panasbumi.

Di sisi lain, potensi panasbumi yang besar tersebut menjadi daya tarik perusahaan asing dalam bidang panasbumi. Engie, salah satu perusahaan energi terkemuka di Prancis, menggarap proyek pertamanya dengan membangun PLTP Muara Laboh, Sumatera. Kini Engie pun bersiap mengerjakan proyek keduanya di Rantau Dedap, masih di Sumatra. Dalam wawancara itu Christophe Comte, memberikan sedikit pengalamannya tentang bisnis panasbumi di Indonesia kepada khalayak Prancis.

Le Petit (LP): Bisakah Anda menjelaskan kepada kami bagaimana perusahaan Anda memproduksi energi panasbumi?

Christope Comte (CC):

Untuk menghasilkan listrik dari energi panasbumi dengan suhu tinggi, 150 hingga 250 ° C, perlu melakukan pengeboran hingga kedalaman rata-rata 2.500 meter. Uap yang diekstraksi di bawah kemudian menggerakkan turbin sehingga menghasilkan listrik.

LP: Ada lebih 299 lokasi panasbumi potensial di Indonesia, bagaimana prosedurnya mendapatkan proyek untuk mrmbangun PLTP di Indonesia?

Baca Juga  Arcandra: Data Sebagai Pijakan Berbisnis EBT

CC: Seperti halnya pada minyak dan gas, Pemerintah Indonesia menetapkan terlebih dahulu wilayah kerja panasbumi (WKP) dan kami mengikuti tender untuk memenangkan WKP yang telah ditetapkan tersebut.

Engie memangkan tender pertama pada 2010 untuk WKP Muara Laboh di Sumatra, yang jauhnya 220 km dari kota Palembang. WKP ini letaknya di pegunungan yang miskin akses transportasi.

Oleh karena itu, pekerjaan pertama kami adalah membangun jalan untuk membangun akses ke lokasi. Setelah itu pengeboran dapat dimulai: kami mengebor rata-rata 6 sumur untuk mempelajari kelayakan proyek. Anak perusahaan kami, Storengy, dan mitra kami, memiliki keahlian dalam pengeboran dan pengetahuan tentang bawah permukaan yang diperlukan untuk proyek ini. Pembangunan pabrik (Muara Laboh) dimulai pada awal tahun 2017. Penugasannya dijadwalkan pada bulan September 2019, 30 bulan setelah dimulainya proyek. Selama periode ini kami membutuhkan sekitar 1.200 pekerja.

LP: Apa manfaat dari energi ini? Dan produksi yang direncanakan?

Energi ini memiliki keuntungan sebab terbarukan, dan ramah lingkungan. Pembangkit listrik Muara Laboh diharapkan menghasilkan 80 MW tanpa emisi CO2, dan bisa menerangi 120.000 rumah.

Berapa biaya proyek ini dan bagaimana pendanaannya?

Biaya untuk tahap pertama pengeboran Muara Laboh adalah sekitar $ 100 juta dan pendanaan proyek adalah $ 440 juta. Perjanjian pembiayaan dijamin melalui konsorsium PT Supreme Energy, dengan Japan Development Bank dan Asian Development Bank.

LP: Apakah Anda memiliki proyek lain yang sedang berjalan?

Baca Juga  Surono : Indonesia Butuh UU Kegeologian

CC : Kami memiliki dua proyek lain yang sedang berjalan. Satu di Rantau Dedap, 225 kilometer dari Palembang. Ini merupakan panasbumi suhu tinggi terbesar di Indonesia. WKP-nya terletak antara 1.000 dan 2.600 meter di atas permukaan laut. Penyelesaian pabrik direncanakan untuk 2020. Produksi yang diharapkan untuk tahap pertama adalah 100 MW, yang akan memasok 130.000 rumah selama 30 tahun dan mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 500.000 ton per tahun. .

Proyek kedua, Rajabasa, berlokasi di selatan Lampung dan proyek ini diharapkan dikerjakan mulai tahun ini.

LP : Bagaimana masa depan energi panasbumi di Indonesia?

Indonesia telah membuat komitmen dalam COP 21 di Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030. Hari ini, 88% listrik di Indonesia dihasilkan dari bahan bakar fosil. Hanya 12% berasal dari energi terbarukan seperti energi panasbumi, angin dan energi matahari. Oleh karena itu, sumber daya panasbumi sangat penting dan pemerintah setempat harus berusaha mencapai target yang telah ditetapkan.

Namun, biaya produksi energi panasbumi saat ini dua kali lebih tinggi dari bahan bakar fosil. Ini dapat menjadi hambatan bagi pengembangan energi panasbumi. Namun demikian, sejak 2014, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa energi panasbumi tidak lagi masuk sebagai usaha pertambangan. Undang-undang lain menetapkan bahwa pemerintah daerah dapat mengumpulkan 0,5 hingga 1% pendapatan dari pembangkit panasbumi di daerah mereka. (es, dari thinkgeoenergy)

Berita ini 47 kali dibaca

Share :

Baca Juga

Berita

Dalam Usia 13 Tahun, PGE Sumbang 94 Persen Kapasitas Panasbumi Indonesia

Berita

Skema Harga Energi Panasbumi Perlu Ditetapkan Tersendiri

Berita

Presiden Jokowi Sebut Tiga Tantangan Besar Dalam Transisi Energi

Berita

Panasbumi Suplai 30 Persen Kebutuhan Listrik Sulawesi Utara dan Gorontalo

Berita

Tiga Hal yang Perlu Dipikirkan Jika Terjun di Pengusahaan Energi Panasbumi

Berita

Anggota DPR RI Andreas Hugo Pareira: Listrik Panas Bumi Flores Harus Mendukung Pariwisata Manggarai

Berita

Siap-siap, Lapangan Kerja di Sektor EBT akan Makin Meningkat

Berita

Banyak Situs dan Ditolak Pemda, Proyek PLTP Gunung Lawu Kemungkinan Kembali Ditunda