Ketua METI Surya Darma.(*)
PABUMNews – Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, mengimbau agar RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) lebih fokus kepada pembahasan energi terbarukan agar selaras dengan semangat pemanfaatan energi yang ramah lingkungan.
Bahkan ia menyarankan agar RUU EBT judulnya diganti dengan RUU Energi Terbarukan (RUU ET) saja.
“Energi terbarukan di sini meliputi tenaga surya, air, angin, bioenergi, atau panasbumi,” kata Surya Darma, Kamis (13/2/2020).
Terminologi energi baru dalam RUU EBT, jelas Surya, membuat beleid ini juga mengatur pemanfaatan energi yang bersumber dari nuklir, hidrogen, dan gasifikasi batubara.
“Alhasil mengakomodir juga energi berbasis fosil,” jelasnya.
Khusus tentang nuklir, Surya Darma menyatakan, energi ini membutuhkan biaya besar dengan resiko yang besar pula.
“Dunia internasional sudah mulai meninggalkan energi nuklir, Indonesia malah akan masuk,” kata Surya Darma.
Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panasbumi (ADPPI), Hasanuddin, menyatakan mendukung pendapat Ketua METI. Menurutnya, ketika RUU EBT disebutkan, maka yang terbayang dalam benak masyarakat adalah pasal-pasal yang mengatur energi ramah lingkungan yang bisa terus menerus diperbarui, bukan energi yang bersumber dari fosil atau hal lainnya.
Khusus tentang pegaturan panasbumi, Hasanuddin kembali menyatakan, RUU EBT yang masuk Prolegnas 2020 tersebut masih berpotensi menimbulkan ketidakpastian terhadap pemanfaatan panasbumi yang kini akan digenjot.
Seperti juga dalam pernyataannya beberapa hari lalu, Hasanuddin menegaskan, khusus untuk panasbumi, dalam RUU EBT perlu ada pasal tambahan yang menyatakan bahwa panasbumi diatur dalam Undang-undang tersendiri.
“Panasbumi telah diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari UU Panasbumi sebelumnya yakni UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panasbumi,” katanya.
“Karena panasbumi menjadi bagian dari sumber energi terbarukan, maka sumber energi panasbumi menjadi bagian dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Kedudukan Undang-Undang ini, dalam perspektif panasbumi, merupakan Pengaturan Umum atau Lex Generalis sumber-sumber energi, sementara pengusahaan panasbumi secara khusus diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi, yang kedudukannya sebagai Lex Spesialis,” ujarnya.
Hasanuddin menyatakan mengapresiasi panasbumi diatur juga dalam RUU EBT sekarang.
“Namun RUU itu malah berpotensi menimbulkan masalah dan ketidakpastian dalam pemanfaatan panasbumi. Oleh karenanya, untuk menghindari hal tersebut, perlu aturan agar tercipta sinergistas antara UU Energi, UU EBT (Draft RUU EBT) dan UU Panasbumi sehingga tidak tumpang tindih dan kontradiktif satu sama lain. Di antaranya dalam RUU EBT dicantumkan pasal bahwa panasbumi diatur oleh Undang-undang tersendiri,” ujarnya. (es)