Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia sekarang ini masih dihadapkan kepada sejumlah tantangan, antara lain “soft loan” dalam negeri yang masih terbatas, dan ketergantungan teknologi dan peralatan EBT dari luar negeri masih tinggi.
“Selain itu, kondisi pasokan listrik yang bersifat intermittent (PLTS & PLTB) belum didukung ketersediaan teknologi smart grid, dan belum banyak badan usaha tertarik investasi di Indonesia Timur, karena keterbatasan infrastruktur pendukung,” papar Direktur Panasbumi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari.
Hal itu diungkapkan Ida pada seminar yang dilaksanakan oleh Forum Energizing Indonesia Ikatan Alumni Departemen Teknik Gas Petro Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FEI ILUNI DTGPK FTUI), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Ida yang menjadi pembicara kunci pada seminar dalam rangka PGD 2018 (Process-engineering & Energy Days) Ikatan Mahasiswa Teknik Kimia (IMTK) FTUI tersebut, memaparkan pula, pengembangan EBT termasuk panasbumi harus dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi yang sistematis secara terus menerus untuk meminimalisir resistensi masyarakat terhadap proyek PLT berbasis EBT.
Ida pun mengungkapkan bagaimana kondisi energi saat ini dan bagaimana peningkatan penyediaan energi. Diungkapkannya, target EBT ditetapkan sebesar 23% pada tahun 2025 atau setara dengan 45 GW, percepatan penyediaan akses energi modern dengan target rasio elektrifikasi sebesar 99% pada tahun 2019, serta komitmen Indonesia dalam program penurunan Gas
Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% penurunan GRK pada tahun 2030.
Kegiatan yang merupakan kolaborasi ke-3 ini bertujuan untuk memaparkan kondisi terkini baik itu fakta dan tantangan yang ada di lapangan sehingga bisa memberikan masukan yang positif kepada pemerintah tentang pengembangan EBT untuk menunjang ketahanan energi nasional. (es)