Asap PLTU Jepara yang terus menerus mengepul (foto : mongabay.co.id)
PABUMNews – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) didesak untuk memperbaiki regulasi sektor ketenagalistrikan sehingga selain bisa mewujudkan tarif listrik yang terjangkau juga mengutamakan energi listrik ramah lingkungan.
Desakan itu disampaikan dua LSM Lingkungan yakni Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi). Kedua NGO itu menyesalkan kebijakan pemerintah yang masih mengutamakan PLTU berbasis batu bara dalam proyek 35.000 megawatt. Menurut keduanya, PLTU berbasis batubara selain energi yang dihasilkannya tidak murah juga menjadi salah satu sumber kerusakan lingkungan yang begitu besar dan efek negatif lainnya yang tidak sejalan dengan tren global yang kini mengarah pada energi ramah lingkungan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menjelaskan total pembangkit listrik dengan kapasitas 9.000 MW yang masuk tahap konstruksi di Pulau Jawa dan Bali masih menggunakan batu bara.
Padahal, pembangkit listrik berbasis batu bara terbukti menimbulkan polusi udara dan dampak negatif bagi kesehatan yang begitu besar. “Ini membuktikan regulasi kita lemah dan tidak berpihak pada masalah lingkungan hidup serta kesehatan,” katanya seperti dirilis bisnis.com beberapa waktu lalu.
PLTU berbasis batu bara terbukti mengeluarkan polusi yang menyebabkan kematian dini, meracuni udara, menyebabkan gangguan kesehatan, dan kerugian luas untuk pertanian, perikanan, lingkungan, dan perekonomian masyarakat.
Ia pun mengutip penelitian yang dilakukan tim Harvard University yang menyebutkan ekspansi PLTU batu bara yang baru di Indonesia akan menyebabkan estimasi angka kematian dini naik menjadi 15.700 jiwa per tahun.
Oleh karena itu, Hindun menegaskan, kebijakan pemerintah mengedepankan PLTU berbasis batu bara dalam program 35.000 MW merupakan kesalahan cukup serius. “Bandingkan saja dengan China yang selama satu tahun pada 2016 bisa membangun 36.000 MW pembangkit tenaga matahari,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, China menutup lebih dari 100 PLTU berbasis batu bara demi melindungi kesehatan rakyatnya. “Berbeda dengan di Indonesia, kita masih menganggap batu bara jadi energi termurah. Di sini perlu ada perubahan oleh pemimpin ke depan,” paparnya.
Sementara Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi, menjelaskan Walhi dengan tegas menolak pembangunan PLTU berbasis batu bara di Pulau Jawa. Terlebih lagi, dampak pembangkit listrik batu bara dengan kadar emisi yang terlalu tinggi terbukti menyebabkan perubahan iklim secara ekstrem bahkan bencara lebih besar.
“Pembangkit listrik berbasis batu bara itu ibarat energi kotor, sekitar 5 kali sampai 10 kali lebih kotor dibandingkan dengan gas. Adapun dampaknya sangat jelas merusak lingkungan serta memengaruhi kesehatan masyarakat sekitarnya,” ujar Dwi.
Menurut Dwi, sejumlah PLTU batu bara bahkan tidak menggunakan alat pengurang emisi agar biayanya makin rendah dan tarifnya murah. “Padahal, dampak yang ditimbulkan sangat parah,” ucapnya.
Dwi menegaskan Walhi mendesak Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk segera mengaudit tingkat emisi dari pembakaran batu bara di setiap PLTU di Pulau Jawa. Jika tidak, komitmen pemerintah Indonesia pada 2011 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% dan 41% dengan bantuan luar negeri pada 2020 tidak akan tercapai. (AS)