PABUMNews-Pada hari Selasa 6 Juni 2017, Hilmi Panigoro hadir dalam kuliah tamu di Gedung Pascasarjana FEB UI, Depok, Jawa Barat. Di sanalah ia berbagi cerita sukses Medco Grup yang didirikan bersama kakaknya, Arifin Panigoro.
Yang menarik dari Panigoro bersaudara adalah rata-rata berlatar belakang pendidikan ITB Bandung. Arifin Panigoro, Yani Panigoro dan Dedi Syahrir Panigoro adalah lulusan Teknik Elektro ITB. Sedangkan Hilmi Panigoro lulusan Teknik Geologi ITB.
Hilmi pun sempat meneruskan kuliah ke Thunderbird School of Global Management di Arizona, Amerika Serikat, hingga meraih gelar MBA. Dari sana, ia kuliah lagi ke Colorado School of Mines.
Ada 11 Panigoro bersaudara. Arifin Panigoro merupakan anak paling tua sementara Hilmi anak ke lima. Ayahnya, Yusuf Panigoro yang berdarah Gorontalo, seorang pedagang kopiah cukup sukses di Bandung. Dari kopiah, tokonya berkembang menjadi agen penjualan barang elektronik Philips dan produk tekstil Ratatex.
Medco didirikan tahun 1980 oleh Arifin Panigoro, kakaknya. Menurut Hilmi, Arifin Panigoro memulai usaha sejak masih kuliah tingkat akhir sebagai instalator listrik dari rumah ke rumah. Akhirnya Arifin berhasil mendirikan Medco dan berkecimpung di onshore drilling (pengeoran di daratan).
Kini Medco jadi raksasa, bukan hanya di Indonesia tapi juga Asia Tenggara. Dan sejak Hilmi turun gunung dari Komisari Utama menjadi Direktur Utama pada tahun 2015, Medco tampak lebih agresif. Tahun 2016 PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mengakuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan 82,2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Nilai akuisisi US$ 2,6 miliar (Rp 33,8 triliun).
Setahun kemudian PT Medco Energi Internasional Tbk (Medco) mengakuisisi 77,68% saham PT Saratoga Power senilai US$ 129,2 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun (kurs Rp 13.500/US$).
Di bawah Hilmi pula, Medco kini menguasai lapangan panasbumi terbesar di dunia, yakni Sarulla yang dioperasikan oleh PT Sarulla Operation Limited, di mana di dalamnya ada PT Medco Power Indonesia, anak usaha PT Medco Energi Internasional Tbk.
Sarulla di Kabupaten Tapanuli Utara,, Sumatera Utara ini, memiliki potensi listrik mencapai lebih dari 1.000 megawatt (MW). Baru kemarin Sarulla Unit 3 berhasil COD 110 MW, smeentara Sarulla unit 1 dan 2 sudah beroperasi sebelumnya, masing-masing sebesar 110 MW.
Menurut Hilmi, pilar usaha Medco ada tiga, yaitu migas, tambang, dan listrik. “Dari ketiga pilar itu, yang paling besar adalah tambang dan migas,” katanya.
Terkait energi baru dan terbarukan, Hilmi mengatakan, cepat atau lambat perusahaan harus berpikir ke arah itu (EBT) sebab renewable itu bentuk energi yang paling cepat tumbuh.
Menurut Hilmi, energi terbarukan yang paling cepat pertumbuhannya di dunia adalah angin dan matahari, sementara di Indonesia adalah panasbumi.
“Ini karena kita tidak memiliki angin yang baik, sementara matahari butuh lahan yang luas. Menurut saya kalau bicara Indonesia, prospek energi terbarukan yang paling besar adalah panasbumi. Sepanjang Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, dan Sumatera banyak panasbuminya. Dan menurut saya, prospek listrik panasbumi 30 gigawatt (GW) di Indonesia itu bisa lebih besar lagi. Secara geologi bisa lebih besar dari itu, tapi harus diidentifikasi dan dieksplorasi. Lalu yang tempatnya paling besar itu syukur alhamdulillah adalah tempat kami, yaitu di Sarulla,” katanya kepada detik beberapa waktu lalu.
Di tempat lain, lanjutnya, mungkin hanya bisa didapat 3 atau 4 MW per sumur, sementara di Sarulla pihaknya mendapat 30 MW per sumur.
Menurut Hilmi, tantangan besar dalam pengembangan panasbumi ada dua. Yaitu investasinya besar yaitu US$ 5 juta per MW. “Hampir seluruh sumber daya panasbumi itu lokasinya di gunung. Dan gunung itu selalu hutan lindung, tapi pemerintah sudah berkomitmen karena kebutuhan lahan untuk geothermal itu relatif kecil. Untuk geothermal akan diizinkan,” katanya.
Yang kedua, katanya, soal tarif. Sebagai pengusaha pihaknya butuh “return”, untuk bayar utang, dan ekspansi lagi.
Hilmi menambahkan, migas dan tambang akan tetap menjadi pilar utama bagi Medco dalam 10 tahun ke depan. Tapi energi terbarukan harus tetap digarap karena energi fosil suatu saat akan jadi “sunset”.
“Jadi kalau saya telat berubah, bisa hancur perusahaan,” ujarnya. (es)