PABUMNews – Kebijakan transisi energi nasional yang berkelanjutan menjadi salah satu agenda utama dalam Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022. Pemerintah menargetkan bauran energi nasional pada tahun 2025 energi yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) mencapai 23 persen. Kenyataannya, hingga tahun 2021 energi yang berasal dari EBT baru mencapai 13,5%.
Berkaitan dengan kebijakan transisi energi nasional tersebut, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, mengatakan, agar target pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) bisa dicapai, Pemerintah harus mengubah sejumlah kebijakan,
Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar kepentingan jangka pendek dan menengah untuk memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bisa selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.
“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dikutip Jum’at (27/5/2022).
Seperti diketahui, sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat. Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23 persen pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen jika ada bantuan internasional.
Bauran Energi Nasional
Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tingkat bauran energi masih 13,5 persen. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2021-2030 menyebutkan bahwa untuk mencapai bauran energi 23 persen pada 2025, akan ada tambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 10,64 GW.
Sementara itu, tambahan pembangkit berbasis EBT sampai 2030 sebesar 20,92 GW. Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load).
Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu. Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia cukup melimpah, yakni sebesar 29.544 MW, sementara yang sudah beroperasi baru 2.276,9 MW atau 7,7 persen.
Selain potensinya yang besar, kata Komaidi, pembangkit panas bumi juga memiliki Capacity Factor (CF) sampai 90 persen, jauh lebih tinggi dari pembangkit EBT lainnya, seperti pembangkit surya (PLTS) sekitar 18 persen dan pembangkit bayu (PLTB) sekitar 30 persen.
Persoalannya, kata Komaidi, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp653,3 per kWh.
“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak,” tutur dia.
Subsidi Listrik
Pada 2022, target subsidi listrik dalam APBN sebesar Rp56,5 triliun, tapi membengkak karena kenaikan harga minyak mentah. Badan Anggaran DPR RI sudah menyetujui penambahan subsidi listrik sebesar Rp3,1 triliun.Pemerintah dan DPR sepakat memilih menaikkan subsidi.
Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek seperti itulah yang membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).
“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.
Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi Covid-19 Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT.
“Ini soal visi jangka panjang. Kebijakan transisi energi nasional dalam pembangunan EBT seperti panas bumi bisa melintasi 1-3 periode pemerintahan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan semua perencanaan dan target, meskipun pemerintahannya berganti-ganti. Tanpa konsistensi sulit menjaga target itu tercapai,” katanya.
Government Drilling
Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling). Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko pada pengembangan Panas Bumi. Dengan berkurangnya risiko tersebut, pemerintah berharap harga listrik dari panas bumi akan menjadi lebih murah.
“Jika Pemerintah tidak ambil bagian dalam menanggung risiko Eksplorasi. Maka pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan. Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.” ungkapnya.
Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan berada pada sisi pemerintah. Pengeboran eksplorasi yang sudah telah terlaksana di Nage, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Cisolok Cisukarame, Jawa Barat.
Kebijakan Penyaluran Listrik Nasional
“Pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja. Untuk itu, pemerintah harus merubah sistem penyaluran listrik menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi,” jelas Komaidi.
Dengan model seperti itu, menurut Komaidi, harga yang terbentuk bisa lebih kompetitif. Dia mencontohkan Unilever. Sejak 1 Januari 2020, Unilever sudah membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di 23 negara. Uniliver membangun fasilitas ini pada seluruh pabrik, kantor, fasilitas riset dan pengembangan, pusat data, gudang, dan pusat distribusinya.
“Skema ini di Indonesia tidak bisa berjalan karena sistem yang ada mengharuskan Unilever menjual listrik ke PLN. Selanjutnya Uniliver membeli listrik kembali dari PLN,” kata Komaidi.
Komaidi melihat Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022, pemerintah bisa mendorong percepatan transisi energi dengan melakukan revolusi terhadap kebijakan energi nasional yang arahnya menuju pada energi bersih.
“Selama kita punya kebijakan energi bersih yang acceptable di pasar dan konsisten, kita tidak perlu khawatir soal pendanaan. Trend keuangan dan investasi sudah semakin mengarah pada ekonomi hijau,” tutupnya.***