PABUMNews – Rencana Uumum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan Presiden Jokowi menjadi Perpres Nomor 22 Tahun 2017 pada tanggal 2 Maret 2017 lalu, salah satunya mengandung semangat untuk memperbesar porsi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Asisten Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kedeputian Maritim Sekretariat Kabinet (Setkab) RI, M. Hamidi Rahmat, mengungkapkan, di dalam RUEN dinyatakan, tahun 2025 kontribusi EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada tahun 2050.
Menurutnya, kebijakan peningkatan peran EBT dalam bauran energi nasional punya alasan kuat. Negara kita kaya akan sumber EBT, seperti air terjun, panasbumi, sinar matahari, angin, arus laut. “Namun di balik potensi sangat besar tersebut, pemanfaatannya hingga sekarang belum maksimal sehingga pemanfaatan energi fosil yang suatu saat akan habis, sangat mendominasi” tuturnya dalam tulisannya berjudul RUEN, Rencana Umum Energi Nasional di setkab.go.id tanggal 24 Maret 2017.
Sampai saat ini, lanjut Hamidi, energi fosil masih mendapat porsi sangat besar dalam penggunaan energi nasional. Energi yang suatu saat akan habis tersebut kontribusinya mencapai 95%, sementara EBT, yang tidak akan habis, baru sebesar 5%.
Ia juga mengungkapkan, EBT sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik yang sekarang ini masih mengandalkan energi fosil. Hamidi membeberkan data tentang perbandingan penggunaan energi untuk listrik. Menurutnya, pada tahun 2015 sampai sekarang, hampir 90% pembangkit listrik menggunakan energi fosil, seperti batubara sebesar 56,1% kemudian diikuti oleh gas bumi sebesar 24,9% dan BBM sebesar 8,6%. “Sementara porsi EBT baru mencapai 10,5%,” tuturnya.
Kenapa pengembangan dan pengusahaan EBT sangat rendah?
Hamidi menilai, rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT untuk pembangkit listrik, terjadi karena ada tujuh permasalahan. Pertama, belum maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga; kedua, ketidakjelasan subsidi EBT pada sisi pembeli (off-taker); ketiga, regulasi yang belum dapat menarik investasi; keempat, belum adanya insentif pemanfaatan EBT; kelima, minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi; keenam, proses perizinan yang rumit dan memakan waktu yang lama; dan ketujuh permasalahan lahan dan tata ruang.
Untuk meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik, menurut Hamidi, maka 7 permasalahan mendasar tersebut harus segera dibenahi dengan serius oleh kementerian dan lembaga terkait.
“Jika tidak, maka rencana dan target yang telah ditetapkan dalam RUEN hanya akan menjadi dokumen yang tersimpan rapi, tanpa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” jelasnya.