Hindun Mulaika
PABUMNws-Empat organisasi nirlaba, yakni Walhi, Greenpeace Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan 350.org Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetop proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berasal energi batu bara (PLTU-B) dalam revisi target proyek 35 ribu megawatt (MW).
Empat organisasi yang tergabung dalam Koalisi Break Free from Coal menilai, PLTU-B berdampak negatif pada lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menyebutkan, dari sisi kesehatan dan lingkungan, PLTU-B akan meningkatkan tingkat polusi udara dan mengganggu kesehatan.
“Studi yang pernah kami lakukan, menghitung biaya dari dampak kesehatan yang diakibatkan oleh PLTU-B, yang apabila beroperasi dengan total 45.365 MW adalah US$ 26,7 miliar atau setara dengan Rp351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU-B,” terang Hindun.
Kemudian, lanjut Hindun, berdasarkan studi gabungan periset dari Universitas Harvard, polusi dari pembakaran batu bara akan mengakibatkan sekitar 24 ribu kematian dini pada orang dewasa per tahun di Indonesia.
“Data tersebut mayoritas berasal dari stroke dan penyakit jantung iskemik yang merupakan dampak pada tingkat yang lebih rendah dari kanker paru-paru dan tenggorokan, penyakit paru dan penyakit kardiovaskular lainnya,” katanya.
Pemanfaatan batu bara melalui PLTU-B juga akan meningkatkan perluasan pembongkaran batu bara melalui penambangan. Terdapat 166,2 juta ton batubara yang dibutuhkan untuk memenuhi 57 persen dari kebutuhan proyek 35 ribu MW. Hal ini akan mengancam lahan-lahan produktif lain.
Dampak lainnya dari penggunaan batu bara, kata Hindun, kajian Hungry Coal oleh Waterkeeper Alliance dan JATAM mengungkap produksi beras nasional akan turun sebanyak 7,7 juta ton akibat pengalihan fungsi lahan pertanian produktif menjadi tambang batubara dan pencemaran air akibat tambang batubara yang dibuka di dekat lahan pertanian.
“Hal ini menyebabkan Indonesia harus bergantung pada impor beras 6 tahun lebih cepat daripada yang seharusnya,” ungkapnya.
Karenanya, Koalisi Break Free from Coal secara khusus meminta Presiden Jokowi untuk menginstruksikan kepada Kementerian ESDM dan PLN untuk mendorong penggunaan lebih banyak energi terbarukan (EBT) seperti tenaga surya fotovoltaik, air, angin, panasbumi serta biomassa.
Jenis energi terbarukan disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya di masing-masing daerah. Hal ini telah dilakukan oleh negara berkembang lain, seperti China dan India.
“Selain itu, memperbanyak penggunaan EBT juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Kepakatan Paris dua tahun lalu untuk menurunkan emisi karbon dan bersama-sama menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius,” beber Hindun.
Hindun mengingatkan, biaya teknologi energi terbarukan secara global menurun dengan pesat, sedangkan biaya PLTU-B akan meningkat terus mengingat harga bahan bakar batu bara yang terus meningkat.
“Guna mendorong penggunaan energi terbarukan, pemerintah perlu lebih konsisten dalam membuat aturan, sehingga memberikan kepastian kepada produsen EBT yang ingin masuk,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga bisa mengalihkan anggaran yang digunakan untuk menopang PLTU-B menjadi insentif pembangunan proyek pembangkit listrik EBT. (es)